Pada 14 September 2009, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi pemerintah tentang penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan oleh Kristiono dkk. Kristiono adalah orangtua, dari Indah yang tak lulus karena nilai UN-nya tidak sesuai standar pemerintah.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh:
Ujian Nasional utama yang dilaksanakan bulan Maret 2010 akan jalan seperti biasa, sebab sampai sekarang kami belum menerima dan membaca putusan MA tersebut sehingga dari pada hanya menunggu lebih baik mempersiapkan pelaksanaan UN. UN 2010 akan tetap berjalan sebab pendidikan di Tanah Air membutuhkan sistem yang mapan, tidak selalu berubah-ubah dan ada kepastian.
Di sisi lain, Depdiknas akan menyiapkan diri bila isi putusan MA sama dengan hasil putusan Pengadilan Tinggi pada 3 Mei 2007. Apabila putusan MA terkait dengan putusan pengadilan tinggi, maka sesungguhnya pemerintah telah melaksanakan poin-poin yang menjadi tuntutan putusan tersebut, yakni enam poin.
Namun demikian, dari enam poin putusan pengadilan tinggi tersebut tidak ada satu kata pun yang menyatakan larangan bagi pemerintah untuk melaksanakan UN.
Sebagai contoh pada poin 3 disebutkan “Memerintahkan kepada para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut”.
Semua yang diperintahkan dalam putusan tersebut sedang, telah, dan terus dilaksanakan karena merupakan bagian dari proses, seperti peningkatan kualifikasi guru sudah dilakukan sejak tahun 2006, perbaikan ruang kelas, pemanfaatan internet di sekolah-sekolah jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat.
Pemerintah sepenuhnya patuh terhadap keputusan lembaga negara dan siap menjalankannya, termasuk bila ada jalur hukum lain setelah kasasi ditolak, maka masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Koordinator Koalisi Barisan Guru Bersatu (KOBAR-GB) Aceh, Sayuti:
Kami sangat mendukung keputusan MA tersebut, karena selama ini perjuangan kami agar UN dihapus, akhirnya terkabul. UN yang dilaksanakan selama ini tidak adil dan mengebiri hak-hak guru.
Bayangkan, pendidikan dilaksanakan bertahun-tahun, namun kelulusan hanya ditentukan dua hingga tiga hari, padahal kelulusan anak tidak semata hanya berdasarkan mata pelajaran, tapi banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan.
Selain itu, UN yang dilakukan selama ini banyak kecurangan, karena semua sekolah berlomba-lomba memberikan jawaban ujian oleh guru kepada siswa, karena takut anak didiknya banyak tidak lulus.
Oleh karenanya, UN tidak layak untuk dipertahankan, serahkan saja masalah kelulusan oleh sekolah masing-masing, karena mereka yang mengetahui kemampuan dan akhlak anak-anak didiknya.
UN boleh dilaksanakan hanya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan di tanah air, bukan sebagai standar kelulusan.
Apabila hasil UN rendah, maka mutu pendidikan di sekolah tersebut diperbaiki dengan menambah anggaran dan tenaga guru yang memadai, sementara bila UN tinggi, maka mutunya tetap dipertahankan, bila perlu ditingkatkan dengan dana yang memadai.
UN baru bisa diterapkan sebagai standar kelulusan di Indonesia apabila fasilitas pendukung belajar mengajar dan tenaga guru sudah merata antara kota dan desa. Sekarang ini pemerataan pendidikan antara kota dan desa di Indonesia belum merata, sehingga mutu pendidikannya juga berbeda, sehingga tidak bisa UN itu diterapkan sebagai standar kelulusan secara nasional. Kami tidak alergi dengan UN, tapi kalau untuk standar kelulusan, itu yang tidak bisa diterima.
Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin:
Saya amat mengapresiasi putusan MA yang menghapus ujian nasional. Pemerintah sebaiknya patuhi putusan MA dan tidak ajukan PK. Saat ini, perbedaan kualitas fasilitas pendidikan di Indonesia sudah sangat mencolok. Beberapa sekolah “kaya” dan memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap, sementara sisanya fasilitas pendidikannya kurang memadai.
Tak relevan melakukan standarisasi kualitas anak didik secara nasional di tengah ketimpangan fasilitas pendidikan antardaerah. Benahi dulu fasilitasnya kalau mau distandarisasi.
Anggota Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), Mungin Edi Wibowo:
Ujian Nasional sangat penting. Tanpa Ujian Nasional kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja. UN dilakukan untuk meningkatkan pemetaan mutu program satuan pendidikan dan juga sebagai proses seleksi, juga UN bisa sebagai bahan pertimbangan dan pemberian bantuan kepada yang sudah lebih ataupun masih kurang.
Kami belum menerima amar putusan itu, namun setiap tahun kami berupaya memperbaiki UN. Yang namanya ujian ada yang lulus, ada yang tidak. Yang tidak lulus artinya kompetensi belum mencapai yang ditetapkan.
Anggota Komisi X DPR, Muhamad Hanif Dhakiri:
Putusan MA yang menolak kasasi pemerintah dalam perkara UN, merupakan bentuk penegasan legal bahwa Ujian Nasional yang selama ini digelar banyak masalah dan harus dievaluasi. Perlakuan sama yang diterapkan pemerintah kepada anak didik, memberikan ruang bagi kecurangan dalam pelaksanaan ujian, seperti kasus guru yang memberikan bocoran soal agar siswanya lulus.
Selama ini penerapan UN digebyah uyah alias dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan. Anak-anak yang bersekolah di teras masjid dengan yang di gedung diperlakukan sama.
Pada dasarnya, UN sangat diperlukan sebagai tolok ukur bagi output proses pendidikan nasional. Namun, di sini diperlukan prasyarat dasar sebelum hal itu dilaksanakan.
Pakar pendidikan dari Universitas Indonesia, A Hanief Saha Ghafur:
Kedudukan hukum dalam UN harus diperbaiki, yakni tidak menjadikan UN sebagai pemutus kelulusan siswa secara menyeluruh. Akibat kebijakan UN tersebut, posisi dan peran guru diambil alih secara nasional oleh pemerintah dalam menentukan kelulusan siswa.
Selain itu, UN telah memukul rata kelulusan siswa dengan standar minimal yang ditentukan pemerintah. Padahal yang menilai lulus tidaknya siswa itu ada di tangan guru, bukan ditentukan pemerintah.
Kendati demikian, UN masih bisa diterapkan dengan catatan tidak dijadikan sebagai alat untuk pemutus kelulusan siswa secara menyeluruh. UN hanya dijadikan alat untuk pemetaan pendidikan secara nasional, per wilayah, hingga peningkatan mutu sekolah.
23.38 |
Posted in
1 Response to "Ujian Nasional Dilarang"
Dengan adanya UN, guru tidak ada wibawanya lagi, dan murid tidak akan menghargai gurunya lagi. Sekolah jadi asal-asalan karena murid yakin gurunya akan membantu dengan segala cara! Dan itupun instruksi dari atas!
Saya kasian pada anak saya, belajar disekolah mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore! Bagaimana mereka bisa menyerap pelajaran, sedang bapaknya dulu jam 11 sudah mengantuk pol! Hebat ya anak sekarang!